bursatourstransfer.com – Baru saja, kabar mengejutkan datang dari Mahkamah Agung (MA): PK Dikabulkan Setya Novanto dalam kasus korupsi e‑KTP. Vonisnya pun kini disunat, dari semula 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan penjara. Kali ini kita bedah tuntas: apa detail putusan, implikasinya, respon publik, dan apa artinya buat masa depan hukum korupsi di Indonesia.
Detail Putusan MA dari PK yang Dikabulkan
MA mengeluarkan putusan nomor 32 PK/Pid.Sus/2020, menyatakan permohonan PK terpidana Setya Novanto dikabulkan. Berdasarkan dokumen, MA menyatakan bahwa terbukti melanggar UU PTPK Pasal 3 juncto 18 dan Pasal 55 Ayat (1) KUHP, lalu disidangkan ulang. Akhirnya hakim menetapkan hukuman penjara 12 tahun 6 bulan, lebih ringan 2,5 tahun dari vonis awal 15 tahun.
Putusan ini juga mencakup aspek keuangan: Novanto diwajibkan membayar denda Rp 500 juta serta uang pengganti (UP) sebesar USD 7,3 juta, dikurangi Rp 5 miliar yang sebelumnya telah ia titipkan ke KPK. Subsidi penjara untuk denda adalah tambahan 6 bulan, sementara sisa UP menjadi subsider 2 tahun penjara.
Lebih lanjut, MA juga menambahkan pidana tambahan, yaitu pencabutan hak menduduki jabatan publik selama 2,5 tahun setelah masa penjara selesai.
Analisis Alasan PK Dikabulkan
Meskipun MA tidak memaparkan detail novum, putusan ini mengindikasikan adanya pertimbangan baru yang cukup signifikan. Umumnya, PK bisa dikabulkan karena:
-
Novum (bukti baru): bukti yang sebelumnya tidak diketahui pengadilan. Setya disebut pernah klaim punya bukti baru dalam PK tahun 2019.
-
Kekhilafan hakim sebelumnya: kesalahan penerapan hukum atau fakta.
-
Pertimbangan supremasi hukum: agar putusan lebih rasional, proporsional, dan sejalan dengan prinsip keadilan restoratif.
Meski begitu, publik menyoroti efek politik di baliknya—terutama karena sosok Novanto sangat dikenal dan punya rekam jejak di Golkar dan DPR. Ada yang mengkhawatirkan bahwa diskon hukuman ini bisa memicu anggapan hukum tidak tegas terhadap koruptor besar.
Respons Publik & Media
Tidak sedikit yang mengkritik keputusan ini:
-
Media mainstream seperti Detik, Jawa Pos, dan Kumparan melaporkan fakta secara lugas tanpa retorika berlebihan.
-
Komentar di masyarakat terasa terbelah. Ada yang mendukung—karena dianggap fair dengan penurunan hukuman—ada pula yang kecewa karena dianggap masih terlalu ringan.
-
Kalangan aktivis anti-korupsi menyoroti potensi efek jera yang berkurang, dengan catatan banyak fakta baru ditemukan tapi hukuman tak jauh berbeda.
Sementara itu, kalangan pendukung Novanto, seperti Ridwan Bae dari Golkar, bahkan meminta pemulihan nama baik serta untuk mengizinkan Novanto kembali menduduki jabatan publik usai bebas.
Dampak PK untuk Kasus e‑KTP dan Hukum Ke Depan
A. Signifikansi untuk penegakan hukum korupsi
Media dan banyak pengamat melihat putusan ini sebagai preseden—bahwa PK bisa dipakai koruptor besar untuk meringankan hukuman, asal mereka punya novum cukup kuat. Namun ada juga sinyal positif bahwa proses hukum tetap berjalan secara prosedural, bukan putusan manipulatif.
B. Efek kepercayaan publik
Diskon 2,5 tahun ini bisa jadi amunisi para skeptis hukum bahwa “koruptor dapat perlakuan khusus”. Ada risiko citra buruk terhadap MA dan sistem peradilan, kalau publik menganggap tidak adil.
C. Upaya hukum selanjutnya
Tidak ada banding atas PK. Namun, sisa eksekusi bisa dikenai judicial review terbatas jika fakta baru ditemukan lagi. Meskipun kelihatannya kecil kemungkinannya, tak semua opsi ditutup.
Timeline Kasus & PK Setnov
-
2018: Vonis awal 15 tahun penjara, denda Rp 500 juta, UP USD 7,3 juta, dan pencabutan hak politik 5 tahun.
-
2020: Novanto ajukan PK, klaim bukti baru.
-
Feb 2025: MA masih meninjau, belum putus .
-
2 Juli 2025: PK dikabulkan, hukuman disunat jadi 12,5 tahun, plus denda, UP, dan tambahan hak publik dicabut.
Reaksi dari Golkar & Dunia Politik
Eks politisi Golkar Ridwan Bae menyatakan sudah saatnya MKD memulihkan nama baik Novanto dan bahkan mempertimbangkan kembali posisi jabatan publik. Ini tentu bikin polemik: banyak yang mendukung karena Novanto adalah tokoh Golkar, tapi juga bikin gaduh karena menyangkut moral publik tentang pemimpin korupsi.
Putusan MA terkait PK Dikabulkan Setya Novanto jelas menjadi sorotan publik. Hukuman yang disunat dari 15 tahun menjadi 12,5 tahun memang lebih ringan, namun hukuman denda dan pencabutan hak politik masih ditegakkan. Meski sistem peradilan sudah berjalan sesuai prosedur, tantangannya tetap terasa—bagaimana menjaga kepercayaan publik dan memastikan tidak muncul diskriminasi perlakuan untuk elite. Ke depannya, semua pihak berharap agar hukum bisa lebih transparan dan adil, tanpa pandang bulu.