bursatourstransfer.com – Presiden AS Donald Trump baru saja mengancam akan mengenakan tarif tambahan 10% terhadap negara-negara yang dianggap mendukung kebijakan “anti‑Amerika” dari blok BRICS, termasuk Indonesia. Ancaman ini dilontarkan tepat saat gelaran KTT BRICS di Brazil pada 7 Juli 2025. Bagaimana isi ancaman tersebut, apa dampaknya bagi perekonomian Indonesia, dan apa langkah antisipasi yang dapat dilakukan?
Isi Ancaman Trump dan Detail Tarif
Trump melalui platform Truth Social menegaskan, “Setiap negara yang bersekutu dengan kebijakan anti‑Amerika dari BRICS akan dikenakan tarif tambahan 10 persen. Tidak ada pengecualian…”
Dia juga menjanjikan surat formal pengenaan tarif ini akan dikirim ke tiap negara, dan pajak baru mulai berlaku paling cepat 1 Agustus, mengamati tenggat 90 hari setelah penundaan sebelumnya.
Perlu dicatat: tarif ini merupakan tambahan atas tarif dasar 10–50% AS sebelumnya. Sehingga total tambahan bisa signifikan untuk ekspor BRICS ke AS.
Siapa Saja Negara BRICS Terdampak?
Blok BRICS sekarang mencakup: Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan, serta anggota baru seperti Indonesia, Uni Emirat Arab, Iran, Mesir, dan Ethiopia.
Keseluruhannya dipandang Trump sebagai entitas yang menentang kepentingan AS, sehingga bisa menghadapi tarif tambahan yang sama tanpa pengecualian.
Namun ada kemungkinan AS masih membuka opsi negosiasi bilateral untuk beberapa negara, seperti dilakukan untuk Inggris dan Vietnam.
Reaksi BRICS & Negara Berkembang
Para pemimpin BRICS mengecam kebijakan tarif sepihak ini, menyebutnya “mengganggu perdagangan global” dan memicu kekhawatiran akan proteksionisme.
Brazil melalui Presiden Lula menegaskan bahwa BRICS harus tetap kokoh bersama menentang proteksi AS.
China, Rusia, dan Afrika Selatan juga memberi kecaman keras, dan memanggil ancaman Trump sebagai bentuk tekanan. Mereka menekankan bahwa BRICS menganut pendekatan multilateral yang inklusif.
Potensi Dampak pada Ekonomi Indonesia
Indonesia sebagai anggota BRICS tentu bisa terdampak langsung dari kebijakan tarif tambahan ini. Produk ekspor seperti kelapa sawit, tekstil, elektronik dan komponen bisa mengalami kenaikan biaya masuk ke AS dan menurunkan daya saing.
Marwan Cik Asan (Demokrat DPR) menyebut ancaman tarif mencapai 100% sebelumnya menjadi alarm bagi UMKM dan industri nasional. Ia mendukung pemerintah memberi insentif agar daya saing tetap terjaga.
Bank Indonesia dan Kemenlu diperkirakan akan mempercepat negosiasi perdagangan, timbang kerugian ekspor dan berusaha membatasi dampak proteksionisme AS.
Strategi Pemerintah & Pembuat Kebijakan
Pemerintah didorong untuk memperluas insentif fiskal kepada sektor industri dan UMKM untuk mengurangi ketergantungan terhadap ekspor ke AS.
Diversifikasi pasar jadi kunci: memperkuat hubungan dagang melalui RCEP, ASEAN, dan bilateral dengan negara Eropa, Afrika, dan Timur Tengah.
Diplomasi dagang di Washington juga menjadi fokus; Indonesia menawarkan paket pembelian komoditas dan pesawat Boeing sebagai tawar-menawar guna meredam pengaruh tambahan tarif.
Wacana Dedolarisasi & De-dollarisation
Ambisi BRICS untuk mengurangi ketergantungan dolar AS (dedolarisasi) menjadi pemicu langsung ancaman Trump sebelumnya dengan tarif 100% jika kebijakan ini diteruskan.
Indonesia sendiri telah menjalankan transaksi bilateral dalam mata uang lokal, seperti rupiah–yuan swap dan bilateral currency swap arrangement (BCSA) selama 5 tahun ke depan.
Namun Trump tetap mengancam tarif jika dedolarisasi dianggap kian nyata oleh Biden—karena dianggap merapuhkan dominasi dolar di pasar global.
Pelajaran dari Ancaman Tarif Sebelumnya
Trump sudah pernah melayangkan ancaman tarif sampai 100% terkait wacana mata uang BRICS pada akhir 2024 dan awal 2025.
Respons Indonesia saat itu adalah memperluas pasar ekspor dan memperkuat supply chain lokal, sembari memperkuat hubungan regional dan multilateralisme.
Kini dengan tarif tambahan 10%, strategi sebelumnya masih sangat relevan: diversifikasi, insentif ekonomi, dan diplomasi proaktif.
Ancaman Trump ancam tarif tambahan 10% BRICS menjadi sinyal baru bahwa perdagangan global di era pos‑pandemi masih diwarnai proteksionisme politik. Indonesia sebagai anggota BRICS harus responsif dan menjaga stabilitas ekonomi nasional.